Jumat, 22 Mei 2015

Kloning Pada Manusia


      Kloning terhadap manusia adalah merupakan bentuk intervensi hasil rekayasa manusia. Kloning adalah teknik memproduksi duplikat yang identik secara genetis dari suatu organisme. Kloning adalah keturunan aseksual dari individu tunggal. Setelah keberhasilan kloning domba bernama Dolly pada tahun 1996, para ilmuwan berpendapat bahwa tidak lama lagi kloning manusia akan menjadi kenyataan. Kloning manusia hanya membutuhkan pengambilan sel somatis (sel tubuh), bukan sel reproduktif (seperti sel telur atau sperma) dari seseorang, kemudian DNA dari sel itu diambil dan ditransfer ke dalam sel telur seseorang wanita yang belum dibuahi, yang sudah dihapus semua karakteristik genetisnya dengan cara membuang inti sel (yakni DNA) yang ada dalam sel telur itu. Kemudian, arus listrik dialirkan pada sel telur itu untuk mengelabuinya agar merasa telah dibuahi, sehingga ia mulai membelah. Sel yang sudah dibuahi ini kemudian ditanam ke dalam rahim seorang wanita yang ditugaskan sebagai ibu pengandung. Bayi yang dilahirkan secara genetis akan sama dengan genetika orang yang mendonorkan sel somatis tersebut.
        Dalam membicarakan kloning dari sudut pandang bioetik (tanpa mengaitkannya dengan agama), paham deontologi akan melihat apakah perbuatan penerapan kloning itu perbuatan yang secara umum dianggap jahat (evil) bagi kehidupan manusia sehingga tidak boleh dilakukan, ataukah justru sebaliknya lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi manusia. Selanjutnya bila paham teleologi yang dipakai, ia akan menilai apakah tujuan dan akibat yang ditimbulkan oleh kloning baik atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh kedua jenis paham etika tersebut tidak dapat diuraikan secara sederhana. Masih diperlukan kajian yang lebih dalam untuk memilah secara jelas duduk persoalan yang terkait dengan kloning itu sendiri.
        Dari sudut pandang sosiologi, kloning terhadap manusia dikhawatirkan akan mengancam pranata sosial yang telah dibangun oleh umat manusia sejak keberadaannya di muka bumi. Andaikata teknologi ini telah “mewabah” di kalangan saintis, tidak dapat dibayangkan berapa banyak makhluk manusia hasil kloning yang akan mengatur seluruh dimensi kehidupan. Belum ada jaminan konkrit dari para ahli kloning yang menyatakan bahwa manusia kloning akan tetap memiliki peradaban sebagaimana manusia normal lainnya. Bisa saja, manusia kloning yang direkayasa untuk menjadi tentara super power tidak memiliki peradaban sama sekali karena mereka diperintah hanya untuk membunuh dan menaklukkan lawan-lawannya. Begitu juga mereka yang diklon untuk menjadi ahli nuklir dan fisika atom. Mereka akan berlomba-lomba memproduksi senjata-senjata pemusnah massal yang selalu siap untuk meluluhlantakkan sendi-sendi peradaban manusia. Bila ini yang terjadi, teknologi kloning secara tidak langsung juga berimbas negatif terhadap pranata sosial dan interaksi sosial yang selama ini diyakini sebagai basis kerukunan dan kedamaian antar sesama manusia.
Sementara itu dari sudut pandang ekonomi, kloning dapat juga memudarkan etika bisnis yang berwajah humanis. Saat ini, kegiatan bisnis penelitian yang terkait dengan kloning semakin gencar dilakukan. Sebut saja Michael West, seorang peneliti sekaligus pengusaha asal Amerika, yang berani mendanai penelitian Roselin Institute (pembuat klon domba Dolly) seharga 2,1 juta US dollar[1]. Biaya sebesar itu ditujukan hanya untuk mendanai kelahiran seekor domba. Berapa besar pula biaya yang akan dikeluarkan untuk mendanai sebuah proyek kloning manusia? Bila proyek ini berhasil, maka tidak dapat dihindarkan terjadinya transaksi bisnis manusia kloning. Mereka yang tidak memperoleh keturunan dengan cara perkawinan biasa, bisa jadi akan menggunakan teknologi ini untuk memperoleh keturunan. Ambisi untuk memperoleh anak melalui jalur ini akan ditempuh meskipun harga yang ditawarkan cukup mahal. Perdagangan kloning manusia seperti ini tentu saja telah meletakkan martabat manusia setara dengan hewan dan tumbuhan.
Pada kawasan gender, kloning juga mendatangkan efek negatif bagi posisi perempuan. Perempuan yang selama ini dikenal sebagai sosok pelindung dan pemelihara manusia akan berubah fungsi sebagai objek untuk mengandung janin-janin hasil kloning. Teknologi kloning, bagaimanapun majunya, akan selalu membutuhkan rahim surrogate mother sebagai tempat pembelahan sel telur hingga ia dilahirkan[2]. Pada tahap ini, perempuan telah diobjektivasi menjadi sebuah mesin yang berfungsi untuk mengembangkan janin hasil rekayasa genetika. Dan yang lebih bias adalah bahwa sel telur dan DNA yang direkayasa dalam perut perempuan tidak jelas pemiliknya. Lebih jauh dari itu, bila proses kehamilan tidak berjalan normal sebagaimana yang diinginkan, maka kemungkinan terjadinya keguguran bisa saja terjadi. Rasa sakit yang timbul akibat keguguran jelas-jelas hanya menjadi tanggung jawab perempuan dan bukan laki-laki.
Perlu diperhatikan bahwa sampai saat ini keberhasilan teknologi kloning belum maksimal seratus persen. Untuk kasus Dolly saja dibutuhkan percobaan sebanyak 277 kali dan hanya 30 kali yang inti sel-nya berkembang. Dan dari 30 inti sel yang berkembang itu hanya satu saja yang berhasil disuntikkan ke rahim domba betina[3]. Bayangkan bila penelitian itu dilakukan terhadap seorang perempuan. Berapa kali mereka harus melahirkan anak-anak abnormal akibat kesalahan prosedur ? Dari sudut pandang gender, penerapan kloning manusia tetap saja mendeskreditkan harkat dan martabat perempuan.


KAJIAN KLONING DALAM HUKUM ISLAM

        Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan ulama kontemporer.

Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:

فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي اْلأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ … (الحج: 5).

“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).

Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat-ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.

Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.


sumber : http://salehdaulay.com/index.php/riset/item/137-kloning-manusia-dalam-perspektif-etika-dan-agama-2 dan berbagai sumber lainnya 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar